Isak Pedih

| Kamis, 25 April 2013

            Hari ini aku pulang larut malam karena sibuk mempersiapkan acara festival sekolah besok pagi, sampai-sampai aku tak memperhatikan arlojiku satu kali menoleh pun. Kini jalanan sudah mulai sepi, teman-temanku telah pulang bersama orang tua yang menjemput mereka, hanya nasibku saja yang sial, Ayahku harus menyelesaikan meetingnya tepat jam 11, betapa menyedihkannya nasib gadis cilik sepertiku malam-malam begini. Tinggal aku sendiri yang masih di sekolah, lampu jalanan hanyalah teman yang kumiliki saat ini. Deruan mesin kendaraan mulai lenyap, berganti dengan nyanyian burung hantu. Dinginnya malam menerkam tubuh kecilku, gemetaran kecil mulai kurasakan. Sweater biruku rasanya tak menghangatkanku sama sekali, aku tetap serasa diselimuti es di sekujur tubuhku.
            Aku memutuskan berjalan perlahan meninggalkan sekolah berniat untuk mendapat sedikit kehangatan dengan berjalan. Tepat di depan panti asuhan ini ada sebuah kebun tak terawatt, sungguh gelap, terlampau sunyi, dan tampak menyeramkan, bagai jika aku masuk ke sana mungkin takkan kembali dengan mata terbuka. Samar-samar aku mendengar rintihan seorang anak laki-laki di kebun itu. “Ma…Mama…Mama…”. Jantungku berdentang kencang, tubuhku kaku tanpa daya, kulihat kearah sana, tak ada siapa-siapa, hanya gelap, aku semakin takut, aku berlari terbirit-birit menuju jalan raya masih dengan tubuh gemetar dahsyat. Kuatur nafasku, menenangkan pikiran, dan berusaha melupakan segalanya. Beberapa menit kemudian Ayahku telah berada di hadapanku dengan mobil cat peraknya. Aku merasa lega.
            Sesampainya di rumah, aku menceritakan kejadian itu ke Ayah dan Ibu, tapi mereka justru tertawa dan tak percaya. “Mana ada yang namanya hantu, Gisa sayang.” ucap Ibuku sambil membelai rambutku. Mungkin mereka benar, tak ada yang namanya hantu, tapi entah kenapa saat aku teringat kembali, jantungku langsung berdetak cepat, mataku terbuka lebar, rasanya, aku ingin tak memikirkan apa-apa. Akhirnya, aku memutuskan tetap di kamar orang tuaku dan terlelap bersama mereka.
***
            Pagi ini aku sungguh terburu-buru, aku harus berangkat jam lima pagi karena Ayahku akan rapat tepat jam enam pagi. Usai mandi dan sarapan, aku bersegera memakai sepatu dan siap menuju sekolah. Jalanan yang kami lalui masih amat sepi, serasa saat ini masih jam dua pagi. Sesampainya di sekolah, aku segera memasuki ruang kelasku untuk mempersiapkan hal-hal yang semalam masih belum terselesaikan. Fokusku pun telah beralih ke tugasku ini, berharap dapat kuselesaikan sendiri sebelum teman-temanku datang.
            Ketika sedang asyik bergelut dengan tugas, aku merasa ada yang mengawasiku dari pintu, aku lempar pandanganku dan ternyata di koridor gelap itu ada seorang bocah laki-laki berpakaian kaos hijau lengan panjang dan celana abu-abu dengan lumuran darah di sekujur tubuhnya, tapi aku hanya melihatnya beberapa detik karena dia sedang berlari. Nafasku jadi tersengal-sengal, buku-buku yang kugenggam berjatuhan, tanganku pun langsung berkeringat, kemudian aku menangis histeris, tubuhku gemetar luar biasa, tak lama aku akhirnya menyerah dan menjatuhkan tubuhku, mataku serasa tak bisa kukedipkan meskipun aku berusaha keras untuk menutupnya hingga perasaan ini tenang, tapi selalu tak bisa.
            Sekitar sepuluh menit kemudian, aku telah cukup tenang, aku mencoba keluar untuk mencari teman, tetapi tetap saja sekolah ini masih sepi. Aku menoleh ke arah gerbang, ada sebuah keramaian antara warga wilayah ini dan beberapa siswa sekolahku. Aku bergegas memasukkan diri ke keributan itu. Seiring berjalan mendekat, makin lama aku semakin mendengar suara isakan, isakan yang amat pedih, ketika aku berhasil menerobos, bocah kecil yang tadi kulihat telah terkapar sekarat beralaskan lumuran darah, kini tubuhnya penuh luka dan sayatan benda tajam, mataku spontan berkaca-kaca, aku hanya bisa mati kaku.
            “Mama..!! Mama..!!” Bocah itu terus memanggil Ibunya, wajahnya benar-benar menggambarkan kesedihan, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa dia bisa jadi begini?”.
            “Dia mencuri makanan di kantin sekolah, beberapa dari itu berserakan di sana.” seorang warga dengan tenangnya menjawab.
            “Lalu kenapa bisa jadi begini!?” bentakku pada mereka.
            “Memangnya kamu siapanya!?” balas mereka serentak.
            “Dia sudah mencuri, kalau dibiarkan dia hanya akan menjadi sampah masyarakat!”
            Air mataku mulai berjatuhan, tapi aku tetap menguatkan hati untuk menjawab dengan lisan, “Lalu apakah ini keputusan terbaik!? Menyerahkannya pada polisi kan juga bisa!”
            “Aku sudah sejak dua hari yang lalu di kebun itu, aku lapar, aku takut, aku kesakitan dengan lukaku, aku terus berteriak tapi tak ada yang membantuku.” bocah itu menjelaskan dengan suara lirih dan terbata-bata.
            “Aku disiksa dan dibuang Mama di sana, apa aku salah jika orang yang tidak punya apa-apa sepertiku mendapatkan sedikit saja nikmat kalian?” tambahnya.
            Apa aku salah jika orang yang tidak punya apa-apa sepertiku mendapatkan sedikit saja nikmat kalian? Kalimat itu terus bergema dihatiku, anak ini sungguh lugu tapi kata-katanya benar-benar menyentuh hati, tangisanku kini makin menjadi-jadi. Aku duduk kemudian memeluknya erat, aku menangis di bahunya, “Kalian benar-benar tak berperasaan!!” bentakku.
            “Jadi kamu yang tadi malam berteriak itu?” tanyaku sembari menatap lekat matanya yang mulai sayu.
            “Ya.” balasnya singkat kemudian terjatuh dipelukanku.
            “Kamu nggak apa-apa?”
            “Kamu nggak apa-apa?” ulangku sambil mengguncangkan tubuhnya.
            Aku terus mengguncang tubuhnya, tapi tubuhnya tetap lemas, badannya menjadi sedingin es, meski matanya masih terbuka. Aku terus mencoba sambil melambai-lambaikan tanganku ke arah pandangannya, tapi percuma, dingin tubuhnya juga mulai merasuki badanku. Orang-orang di sekitarkulalu menggendongnya dan membawanya pergi sedang aku masih terdiam di tempatku, aku tak merespon ajakan temanku untuk masuk ke sekolah, aku masih larut dalam tangis. Ya Tuhan, kenapa aku sebodoh ini? Kenapa aku tak menolongnya malam itu? Kenapa aku tak mengejarnya pagi ini? Tuhan, kenapa dunia ini begitu kejam? Kenapa mereka begitu tega pada anak itu? Kenapa mereka tak berperasaan begitu? Tuhan, jika bisa, izinkan dia hidup bahagia lebih lama. Tuhan, jika boleh, kirim aku ke tempatnya sebagai tebusan karena aku tak menolongnya dua kali, kumohon, Tuhan.
            

0 komentar:

Posting Komentar

Prev
▲Top▲